Maret 27, 2008 — Hary
“Tidak mudah mengubah cara hidup, persepsi dan nilai individu. Namun, bila melihat hasilnya, kita tak akan mundur. Kita akan terus berusaha melakukan pembelajaran karena peningkatan harkat hidup merupakan keindahan yang tidak ada duanya”, demikian komentar seorang eksekutif sebuah perusahaan makanan kaleng. Ungkapan tersebut disampaikan ketika dia berhasil menaikan tingkat kualitas nenas kalengan di pabrik yang ia pimpin, dimana yang pertama dilakukan adalah memutuskan untuk menaikan tingkat kebersihan gaya hidup para karyawannya. Riset dilakukan ke rumah-rumah karyawan dan upayanya berkisar antara pembersihan rambut, dapur di rumah, pakaian para karyawan dan banyak hal lain yang menyangkut gaya hidup karyawan secara keseluruhan.
Pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang tidak komplit. Kita sering mengkonotasikan tidak lancarnya pendidikan dengan gaji guru yang kurang, sekola yang kurang dana, sekolah yang rusak, ataupun kurikulum yang cenderung tidak berubah. Sementara yproses pembelajrannya sering tertinggal dan tidak didalami. Kita pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada keluarannya. Kita sering tidak mempelajari “kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran “kena atau tidak”. Belum lagi, kesempatan studi banding sering tidak kita manfaatkan betul sebagai “pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka danpura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, ha yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.
Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Dicipline banyak organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di negeri tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetanggan yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa pembelajara, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta “awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral yang akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.
Peter senge berpendapat pembelajaran terjadi bila individu secara teratur diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati sesuatu yang sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang punya paradigma baru. Untuk menjadikan sebuah organisasi atau negara pembelajar, kita memang perlu meninjau dan membangun kembali beberapa aspek mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita.
Jangan Meraba-raba
Secara “back to basic” marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa ketidakakuratan dalam pencarian fakta menyebabkan negara rugi bermilyar-milyar dolar AS. dan, karena mayoritas mayarakat sudah terbiasa hidup dalam ketidakakuratan, menyukai “plesetan”, tidak ada pihak tertentu yang berobsesi untuk memperoleh data yang benar.
Eksperiman dan Riset tidak selalu dim laboratorium
Dari seorang eksekutif yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak memberi judul “Riset” atau “eksperimen” terhadap kegiatan-kegaitan “mencaritahunya”. Misalnya, “Saya sedang meriset kamera mana yang paling baik dibeli Canon atau Nikon atau saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau saya makan sawai selama seminggu. Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh pengetahuan baru. Ini sangat berguan bagi kita yang memang selalu memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru melalui kesulitan dan kesempatan yang kita alami.
Belajar diman saja dan pada siapa saja
Dalam budaya paternalistik yang kita pegang, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari aman saja dan siapa saja serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa dan menemukan persepsi dari sisi lain “best practice” dalam implementasi, penyelesaian pekerjaan, sikap kerja. Best practice yang sangat kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit menerapkan “lesson learnt, dimana kesalahan dan perbaikan sistem akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga. Beberapa organisasi menyebutkan kegiatan ini sebagai “Santayana Review” yang berasal dari filsafat George Santayana yang pernah menyatakan :“Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”. Kita juga bisa belajar kembali, bagaimana cara mengajukan pertanyaan dalam mengambil keputusan, menggali pendapat dan masukan orang lain, apakah bawahan, atasan, para ahli bahkan para remaja. Pengetahuan bukan milik para elit tertentu lag. Kita bodoh kalau menghambat tersebarnya segala macam di organisasi kita. Tentunya cara yang “friendly” untk menyebarkannya perlu dicari dan disesuaikan denga situasi massanya.